Review Kuntilanak 2 (2019)

Liputan Bioskop 88 Reply 00:27

Kuntilanak 2 (2019)


Rizal Mantovani kembali meramaikan libur Lebaran dengan film horor keluarga, Kuntilanak 2. Ini merupakan sekuel dari Kuntilanakyang juga tayang pada musim mudik tahun lalu. Nah, dalam film sebelumnya, Dinda (Sandrinna Skornicki) dan empat saudara angkatnya telah berhasil mengurung sosok kuntilanak yang menghuni cermin antik di rumah mereka. Sayangnya, teror kuntilanak belum selesai.

Kuntilanak 2 masih menghadirkan karakter antagonisutamanya sebagai salah satu makhluk gaib yang menjadi bagian dari mitos lokal. Biasanya, sosok kuntilanak hadir hanya untuk mengejutkan dan bikin ngeri, tapi kali ini justru jadi karakter yang bisa bikin kalian berempati. Sebelum membahas lebih dalam, lihat dulu cuplikannya di bawah ini!


Kuntilanak (2018)memang ditutup dengan akhir yang bahagia. Meski begitu, enggak pernah dijelaskan apakah kuntilanak benar-benar sudah musnah selamanya atau enggak. Ternyata, hal itu disiapkan buat sekuel ini.

Lantas, bagaimana keseruan Kuntilanak 2? Berikut ulasannya!

Tegang dan Menguji Kekerabatan


Masih dengan suasana mistis yang sama, Kuntilanak 2 dibuka dengan adegan seorang pria paruh baya yang terlihat sedang mengucapkan mantra di depan sebuah gua yang ada di ruang bawah tanah. Fokus diarahkan ke topeng yang ada di atas gua. Penonton pun langsung diajak mengingat simbol tersebut. Ya, itu adalah topeng (atau patung kepala) yang sama seperti yang ada di cermin sebelumnya.

Pria tersebut melepaskan kembali kuntilanak yang terkurung di sana. Sementara itu, di sebuah pasar malam, Dinda tampak sedang mencari-cari Ambar (Ciara Nadine Brosnan). Ternyata, Ambar tertidur di kincir angin seorang diri, hampir menjadi sasaran empuk kuntilanak. Dengan keramaian dan keceriaan di pasar malam itu, kemunculan sosok kuntilanak yang mengincar Ambar membuka tabir teror film ini.


Kenyataan bahwa ibu kandung Dinda datang menemuinya ternyata cukup menggerakkan hati Dinda. Dinda bertekad menemuinya langsung, didukung saudara-saudaranya serta Julia (Susan Sameh) dan Edwin (Maxime Bouttier). Bertemu dengan ibunya, Karmila (Karina Suwandi), Dinda pun mendapatkan hal yang selama ini dicarinya.

Melihat kebahagiaan Dinda, Ambar cemburu dan sedikit demi sedikit mulai menunjukkan ketaksukaannya kepada Dinda. Namun, ternyata Karmila menyimpan banyak hal yang semakin lama mulai terkuak. Ketika waktunya tiba, Dinda harus memilih siapa yang harus diperjuangkannya.

Menyenangkan seperti Film Pertamanya


Sekuel ini masih memiliki aura menyenangkan yang sama, dengan celetukan-celetukan nyeleneh yang terlontar dari karakter anak-anak di film ini. Selain itu, gaya kengerian yang ditampilkan pun masih sama, melihat dari sudut pandang anak-anak, sehingga cukup bikin geregetan.

Sejak awal, pengenalan karakter ditampilkan dengan cerdas. Kresna (Andryan Bima) dan Panji (Adlu Fahrezy) terlihat akur dan asyik bermain, sedangkan Miko (Ali Fikry) berkutat dengan ketertarikannya terhadap hal-hal mistis. Bagian ini seakan mengajak kalian menyegarkan ingatan dan menjalin kedekatan lagi dengan para karakter.


Bagian ini juga mengenalkan dua karakter baru, yaitu Julia dan Edwin. Sayangnya, pengenalan dua karakter ini terlihat canggung, khususnya Julia yang digambarkan standar sebagai kakak yang peduli kepada adik-adiknya. Di sisi lain, karakter Edwin dimunculkan sebagai penyegar suasana dan tentunya, pacar Julia. Keduanya menggantikan Lydia dan Glenn yang tanpa penjelasan jadi enggak muncul di film kedua ini.

Meski demikian, sebuah film anak-anak tetap saja dibuat oleh orang dewasa. Hal inilah yang sering menjadi masalah karena film-film tersebut tak sepenuhnya menggambarkan anak-anak. Sebagaimana beberapa adegan yang ada di film ini, yang ditampilkan bukanlah fantasi anak-anak, melainkan fantasi orang dewasa yang melihat bagaimana anak-anak seharusnya bersikap dalam situasi yang sedemikian rupa.

Fokus pada CGI, Abai terhadap Detail


Berbeda dengan film sebelumnya yang cukup memperhatikan detail cerita, sekuel ini justru terkesan hanya fokus kepada hal yang besar. Banyak detail yang sayangnya dilupakan untuk dieksplorasi sehingga sekuel ini terkesan lemah dalam hal penceritaan.

Misalnya (1) ke mana Lydia dan Glenn; (2) apakah anak-anak sedang dalam masa liburan; (3) bukannya Donna (Nena Rosier) mau menelusuri dulu soal ibu Dinda, kenapa malah mengizinkan Dinda pergi dengan gampang; (4) kenapa kaki-tangan kuntilanak malah memberikan petunjuk ke Edwin; sampai (5) perihal wangsit yang luput disebutkan.


Soal sinematografi, tentu Rizal masih menampilkannya dengan apik. Kali ini, dengan tone warna kehijauan, selain gelap, suasana klenik film ini terlihat lebih menonjol dari film sebelumnya. Memang, unsur mistis yang diangkat bisa dibilang murni pesugihan.

Enggak bisa dimungkiri, ketegangan yang disajikan jadi terasa lebih mencekam karena sudut pengambilan gambar yang dipilih Rizal sangat sempit dan fokus. Hal ini menyembunyikan momen penting sampai “meledak” pada waktunya.

Sayangnya, sekuel ini jadi wahana unjuk gigi efek CGI yang enggak efektif. Bahkan, buat bikin sosok kuntilanak yang mengerikan, efek CGI ini pun dipakai. Hal ini sesungguhnya enggak perlu karena Karina telah memerankan karakternya dengan sangat baik. Cukup bermodalkan make-up yang mumpuni, dia bisa jadi sosok yang bikin merinding.

Sebaliknya, efek CGI justru bisa digunakan untuk memperhalus penggambaran kuburan kuntilanak sehingga enggak kentara propertinya yang dibuat dari styrofoam. Kesannya, efek CGI yang ditampilkan diharapkan bisa menutupi cerita dan konflik yang kurang mendalam. Sayangnya, penggunaannya yang enggak efektif dan enggak efisien ini malah merusak suasana.

Villain yang Menghidupkan Suasana


Lima bintang perlu diberikan kepada Karina Suwandi yang memerankan Karmila, ibu kandung Dinda, yang misterius. Sejak awal, Karmila enggak digambarkan seperti sosok ibu pada umumnya. Dia terlihat punya maksud tersembunyi, berwajah manis tapi berhati licik, dan tentunya misterius. Kemampuan Karina menghidupkan sosok Karmila seperti yang diharapkan bikin kengerian yang ditampilkan kali ini lebih khas.

Sayangnya, karakter kuntilanak yang kuat enggak didukung dengan perkembangan karakter Dinda, Kresna, Panji, dan Ambar. Karakter Miko masih terbilang aman karena kelihatannya Ali Fikry juga menjiwai betul karakternya. Justru karakter Dinda-lah yang dirusak oleh cerita. Mungkin Dinda diharapkan berkembang sepanjang cerita dengan menyadari dan mensyukuri keluarga yang dimilikinya sekarang. Hal itu seharusnya bisa dibangun sepanjang cerita.


Sayangnya, sejak memutuskan untuk pergi dari Mama Donna dan menemui ibu kandungnya, Dinda justru malah terlihat apatis. Peralihan dan perkembangan karakternya enggak terjalin dengan mulus sehingga kelihatan ada patahan yang terlewat.

Karakter Ambar pun mengalami hal serupa. Oke, Ambar cemburu kepada Dinda karena Dinda mendapatkan kasih sayang ibu yang enggak didapatkan Ambar. Namun, semua cuma ditampilkan di permukaan, enggak mendalam.

Kehangatan Keluarga yang Memudar


Kehangatan keluarga yang seharusnya menjadi kekuatan utama film ini gagal masuk spotlight karena perkembangan karakter yang mandek. Sebenarnya, premis dan penyelesaian konflik yang ditawarkan berjalan beriringan. Sayangnya, cerita yang fokusnya bercabang dan perkembangan karakter yang alpa membuat penyelesaian yang diberikan terasa kosong dan terkesan numpang lewat. Karena terlalu banyak yang ingin ditampilkan, kebersamaan setiap karakter justru terurai.

Ditambah lagi, wangsit yang menjadi kunci dari berbagai misteri malah muncul sejak dini. Hal ini enggak diiringi dengan gambaran keinginan dan kecurigaan Dinda untuk mengetahui makna mimpinya tersebut.

Belum lagi, ikatan keluarga di antara para karakternya juga terasa hambar. Mama Donna enggak menunggu lama untuk memberikan izin kepada Dinda menemui ibu kandungnya. Dinda terlihat terlalu antusias dan “buta” demi bertemu sang ibu kandung. Meski begitu, kedekatan Julia dan Edwin bisa dibilang lebih aman dan sesuai untuk sebuah film dengan rating 13+.

Related Posts

Film Asia 1942872575055370120

Post a Comment

Search

Blog Archive