Review Charlie's Angels (2019)

Liputan Bioskop 88 Reply 05:25

Charlie's Angels (2019) sebetulnya sejak tahun 1970an dibuat dalam bentuk TV Series, lalu tahun 2000an yang dibuat kembali dalam bentuk movie, sangat diperuntukan bagi segmented orang saja, jadi tidak semua mengenal dan tahu tentang Charlie's Angels, kecuali mereka angkatan 90an yang sempat nonton versi film nya.



Saya sendiri memang lebih menyukai versi tahun 2000an yang diperankan oleh Drew Barrymore dan kawan-kawan, terlebih lagi soundtrack nya besutan dari Band Pop Punk terkenal saat itu yaitu Blink 182, wah udah deh pecah itu film, setidaknya menurut saya.

Saat Charlie's Angels 2019 ini keluar saya sendiri kurang antusias, mungkin karena saya pikir pasti remake lagi dan lagi, bahkan saat muncul dibioskop-pun saya tidak tertarik untuk menonton film ini, hingga akhirnya saat sedang browsing tiba2 saya liat rank-nya di google sangat menyedihkan.

IMDB: 4.4/10
Torrent Tomatoes: 52%
Metacritic: 52%

Wah kenapa bisa begini?

Karena yang saya tahu, jalan cerita dari Charlie's Angels ini sangat menarik, setidaknya jika melihat versi tahun 1970an saat masih berupa TV Series.
Karena penasaran akhirnya saya download movie nya di Forum tercintanya ini, yaitu Forum IDFL.

Well, setelah menonton rasanya tidak ada yang aneh, tapi tidak ada yang istimewa juga sih, alias biasa aja, tapi jika melihat premis dan pace nya saya malah suka, kesan “menyenangkan” yang selalu dibawa oleh Charlie's Angels dari masa ke masa selalu ada dan membuat tersenyum.

Banyak adegan yang scene yang menurut saya malah bagus kok, ada sebuah plot yang hampir tidak bisa ketebak, tapi ujungnya ketebak juga sih karena terlalu cepat kearah conclution plot.

Disutradarai dan sekaligus pemain yaitu “Elizabeth Banks” saya rasa Film ini menjadi sangat menyenangkan untuk dilihat.

Para pemain utama seperti Kristen Stewart, Naomi Scott, Ella Balinska juga memerankan porsi mereka dengan sangat baik, setidaknya itu menurut saya.
Tapi sekali lagi itu adalah pemikiran saya sendiri yang memang sudah mengikuti Charlie's Angels ini sejak era 1970 hingga 2000an.

Dan score dari saya pribadi tidak jelek kok, filmnya memunculkan sebuah kesan, apalagi ada cameo dari beberapa pemeran Charlie's Angels sebelumnya, dan itu menjadi sebuah gimmick tersendiri buat saya pribadi.

Bagi yang belum sempat nonton ke bioskop, kalian bisa menonton Charlie's Angels (2019) download atau streaming di bioskoponline88.

Personal Rate: 7.5/10

Review Underwater (2020)

Liputan Bioskop 88 Reply 07:18

Review Underwater (2020)

WILLIAM Eubank ('Love', 'The Signal') adalah seorang sutradara yang telah menghasilkan dua film fiksi ilmiah sebelumnya dan dapat disimpulkan sebagai sutradara berikut: "secara mengejutkan bagus, mengingat anggarannya rendah". 'Underwater' adalah film ketiganya dan upaya uang besar pertama tetapi telah merana sejak 2017 karena merger Fox / Disney - itu sebenarnya film terakhir yang akan dirilis di bawah nama 20th Century Fox sebelumnya Walt Disney Studios mengubah namanya menjadi 20th Century Fox.



Alur cerita film ini dengan cepat dibuka selama 15 menit pertama: Tian Industries yang berniat mengebor sedalam tujuh mil ke dasar Palung Mariana untuk sumber daya, terjadi gempa bumi besar, dan bagian dari Stasiun Kepler 822 mulai mengalami kerusakan dahsyat dari tekanan.



Seorang insinyur mekanik bernama Norah (Kristen Stewart) dan seorang awak stasiun bernama Rodrigo (Mamoudou Athie) berebut melalui reruntuhan yang kotor dan kotor. Mereka menemukan lebih banyak penyintas: Paul (T.J. Miller), seorang eksentrik bertato yang membawa kelinci boneka untuk keberuntungan; Emily (Jessica Henwick), seorang magang biologi; insinyur dan mitra Emily Smith (John Gallagher Jr); dan kapten stasiun yang berbakti, Lucien (Vincent Cassel).

Dengan tidak ada pod pelarian yang tersisa, Lucien merekomendasikan agar mereka mengenakan pakaian bertekanan dan berjalan satu mil melintasi dasar laut ke Stasiun Roebuck 641 yang ditinggalkan - film ini melakukan pekerjaan yang kuat untuk menampilkan claustrophobia sempit yang hampir mencekik ruang sempit dan kekosongan luas dari lingkungan.

Sayangnya, terbangun oleh pengeboran yang tak henti-hentinya, suatu ras makhluk hidup Lovecraftian laut dalam yang berduri dan lengket dengan rahang membentang keluar dari kedalaman yang jauh.

Sebagai seseorang yang tanpa malu-malu menyukai film tentang hal-hal aneh yang terjadi di bawah air - 'Sphere,' 'Deep Star Six,' dan 'Leviathan' - Film terbaru Eubank sepertinya dibuat khusus untuk saya.

Karakternya adalah arketipe sederhana - kapten dengan masa lalu yang tragis, kelegaan komik, pria IT yang tidak berguna, calon pemula yang ketakutan, dan umpan meriam. Kristen Stewart, rambutnya pendek dan dicat pirang, menjadi pahlawan aksi Ripley-esque yang hebat, lengkap dengan sepatu kets tinggi dan terusan ketat.



Eubank menyimpan narasi singkat dan to the point, mengadu karakternya yang kasar, karakter yang memuntahkan teknologi terhadap serangkaian rintangan: merangkak melalui terowongan yang dipenuhi mayat, berjalan di sepanjang dasar lautan, konverter oksigen yang rusak, dan ancaman konstan dari dekompresi eksplosif.

Sementara adegan yang lebih cepat terlalu kacau dan suram, apa yang membuat 'Underwater' begitu unik - dan mengapa film-film subaquatic biasanya berjuang - adalah kelesuan harfiah dari urutan aksi lainnya. Karakter turun lift atau naik trem yang sangat lambat. Para kru berdesakan di sekitar robot kecil, langkah mereka diperlambat oleh air. Itu mungkin kedengarannya tidak terlalu menyenangkan, tetapi Eubank secara efektif menangkap setiap benjolan dan belokan; ini adalah penggambaran perjalanan laut dalam yang benar-benar aneh

'Underwater' memberi penghormatan kepada sejumlah film dan berutang terbesar pada hal-hal seperti 'Alien: Resurrection', sebuah film yang diputar seperti kumpulan ide-ide setengah-setengah yang menggelitik, bergabung dengan imajinasi yang tidak sesuai dari ahli fiksi Perancis Jean-Pierre Jeunet. Seperti 'The Abyss' karya James Cameron, Eubank ular kameranya melalui raksasa platform pengeboran bawah laut yang besar. Seperti 'The Descent' karya Neil Marshall, film ini menampilkan karakter wanita yang kuat bersatu untuk memerangi kawanan mutan buta di bawah permukaan bumi.



'Underwater' juga berutang pada video game, sebagian besar 'Bioshock', menggunakan kostum (baju selam atmosfer yang terinspirasi steampunk), lingkungan (hancur tapi dikotori oleh petunjuk) dan desain suara - seperti pengumuman yang direkam sebelumnya yang melewati koridor stasiun - untuk eksposisi dan ironi.

Namun, beberapa hal membuat saya keluar dari film, sulih suara melodramatis menjadi yang utama di antara mereka, serta adegan aksi yang tidak jelas dan cepat seperti yang disebutkan sebelumnya. Itu juga terasa kurang seperti film William Eubank ('Love' dan 'The Signal' yang berat pada kilas balik dan bagian dalam pikiran), dan lebih seperti kolase pengaruhnya. Mungkinkah 'Underwater' mendapat manfaat dari menjadi pertunjukan satu perempuan, seperti film horor duyung putri Jill Dillard yang hebat, 'Sweetheart'? K-Stew versus monster tentakel versus masa lalunya yang angker? Mungkin.

Tegang dan menyenangkan, dengan makhluk-makhluk yang tampak keren dan ketakutan yang tidak terlalu menyebalkan, 'Underwater' mungkin sekali pakai dalam jangka panjang - tetapi juga film B-Hollywood sejati yang menghibur dan bersahaja yang layak dikunjungi ke bioskop .

Review Ip Man 4: The Finale (2019)

Liputan Bioskop 88 Reply 05:55
 Review Ip Man 4: The Finale (2019)






Ip Man 4: The Finale adalah seri penutup Ip Man series, setelah sebelumnya Ip Man (2008), Ip Man 2 (2010), Ip Man 3 (2015) serta spin off-nya Master Z: Ip Man Legacy (2018). Kursi sutradara masih diduduki oleh Wilson Yip. Naskah juga masih ditulis oleh Edmond Wong, serta diproduseri juga oleh Raymond Wong sejak film pertamanya.

Selain Donnie Yen yang kembali menjadi sang master Wing Chun ini, film ini dibintangi oleh Wu Yue, Scott Adkins, Kwok-Kwan Chan, Vanness Wu, Chris Collins, Grace Englert, Kent Cheng, & aktris cantik keturunan Cina – Jerman berusia 16 tahun yang bernama Vanda Margraf.



Setelah istrinya meninggal, Ip Man tinggal bersama putranya. Sang master divonis mengidap kanker karena kebiasaannya merokok. Ip Man berniat menyekolahkan anaknya ke AS, meski anaknya menolaknya. Selain itu, dia diundang oleh muridnya Bruce Lee (Kwok-Kwan Chan) untuk menyaksikannya bertanding.

Sesampainya di Negeri Paman Sam, Ip Man melihat kenyataan bahwa warga Cina sebagai minoritas mendapat perlakuan tak adil dari warga kulit putih. Masalah lain ialah agar bisa bersekolah di San Francisco, membutuhkan surat referensi dari Wan Zong Hua (Wu Yue), selaku ketua CCBA (Perkumpulan warga Cina di AS).

Wan Zong Hua awalnya tidak mudah memberikan surat referensi tersebut. Hingga suatu hari Ip Man bertemu dengan putrinya Wan Zong Hua yang bernama Yonah (Vanda Margraf) yang mendapat perlakuan rasis dan kerap dibully oleh Becky (Grace Englert), teman sekolahnya. Yonah yang diserang oleh teman-temannya Becky lantas dibantu oleh Ip Man yang kebetulan berada di sekolah itu.



Di tempat lain, Hartman Wu (Vanness Wu), seorang marinir berusaha meyakinkan komandannya Barton Geddes (Scott Adkins) untuk memasukkan Wing Chun di program militernya.

Barton lantas tak setuju dan menghina Wing Chun. Semua perlakuan ini membuat Ip Man harus kembali menggunakan kemampuannya untuk melawan.





Dibandingkan film-film sebelumnya, sisi manusiawi kini terlihat dominan. Tapi plot cerita tidak mengalami perkembangan yang menarik, karena sama-sama mendapat perlakuan tidak adil. Setelah Jepang, Inggris, kini giliran AS yang menjadi musuh.

Adegan aksi serta pertarungan masih menjadi unggulan film berdurasi 105 menit ini. Semua koreografi aksi di film ini terlihat sangat hebat dan akan membuat penonton menahan nafas. Adegan adu tenaga dalam di meja makan merupakan salah satu scene terbaik di film ini.



Setting San Francisco era 1960-an ditampilkan dengan sangat bagus. Sinematografi yang digarap oleh Siu-Keung Cheng sangat ciamik, dan digabungkan dengan scoring Kenji Kawai mampu menyuguhkan kombinasi yang patut diacungi jempol.

Scene Bruce Lee ketika menghajar salah satu musuhnya di gang sempit di malam hari akan menjadi scene yang akan membuat anda terpukau.

Untuk akting para cast, semua tampil baik. Kwok-Kwan Chan yang menjadi Bruce Lee terlihat meyakinkan dengan ciri khasnya, serta Scott Adkins yang mejadi antagonis tampil begitu meyeramkan dan memberi ketakutan tiap kemunculannya.





Satu yang mencuri perhatian saya adalah Vanda Margraf, gadis berusia 16 tahun keturunan Cina – Jerman yang memerankan Yonah. Vanda tampil dengan sangat baik dan cantik sekali di debut film layar lebarnya.

Yonah yang diceritakan sebagai imigran Cina mengalami intimidasi, dipukuli oleh teman-teman sekolahnya yang berkulit putih bahkan sampai dipaksa dipotong rambut panjangnya. Aktingnya yang begitu bagus menuai pujian dari penonton hingga membuat Vanda sukses mencuri perhatian.

Vanda mempersiapkan suting dengan berlatih tai chi satu bulan sebelumnya. Vanda ditemukan oleh sutradara Wong Kar Wai ketika baru berusia 15 tahun. Cewek kelahiran 18 Juni 2003 ini mempunyai ayah seorang ahli biologi, Josef Margraf dan ibu seorang pecinta lingkungan, Li Minguo.




Walau ceritanya sedikit membosankan, tapi penonton akan disuguhi pertarungan-pertarungan hebat seperti di film-film sebelumnya. Para penggemar franchise ini tentu akan senang di penutup kali ini. Setting San Francisco yang menawan ditambah tampilnya sosok Bruce Lee tentu tak boleh dilewatkan.

Adanya tribute berupa potongan film dari film pertamanya sampai film ketiga akan membuat penonton bernostalgia serta keluar bioskop dengan bahagia.



Ip Man 4: The Finale sukses meraup lebih dari 1,7 juta Dolar AS dalam tiga hari sejak rilis di bioskop pada 20 Desember.

Akan tayang di bioskop Indonesia hanya di XXI mulai tanggal 31 Desember 2019.

Search

Blog Archive